12 January 2015

Elan Jalan Hidup Para Perintis

Decak kagum tak akan mampu menggantikan rasa hormat saya kepada mereka yang secara sadar telah memilih jalan sepi dan jauh dari kenyamanan demi merebut peluang-peluang perubahan yang dibutuhkan warga komunitas di mana mereka hidup dan berpenghidupan.

Tekanan dan kepahitan hidup telah menjadi benih kematangan kepribadian para perintis yang sebagian besar berasal dari kampung-kampung di pelosok pulau-pulau Jawa, Flores, Kalimantan dan Maluku. Kecerdasan sosial, politik dan emosional menjadi asset tak ternilai pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi keselamatan kolektif warga di kampung mereka masing-masing.

Sederet nama yang saya sangat hormati, Tari, Dodi, Edi, Asun, Supinah, Masrani, Maga, Pastor Kopong, dan Veronica, bertutur lirih tentang kehidupan yang pahit tanpa sikap memelas dan meminta iba orang lain. Mereka berkeyakinan penuh, begitu sosok-sosok itu ikhlas menyerahkan hidup mereka untuk kemaslahatan orang banyak, dukungan semesta menjadi suatu keniscayaan.

Lahirnya prakarsa Para Perintis mesti dianggap sebagai kenyataan sejarah yang tidak terhindarkan dan memiliki logikanya sendiri dalam hiruk-pikuk ajang pamer keperkasaan pembangunan ekonomi yang semakin hari semakin terasa dan terlihat absurd. Rasa suntuk dan gerah yang menumpuk di kepala orang-orang yang selama puluhan tahun bergelut dalam ritual pembangunan baik melalui jalur resmi maupun partikelir dipaksa untuk menemukan pintu keluar yang sekaligus gerbang menuju arena baru. 

Keterhubungan antara satu pribadi dengan lainnya bersumber dari kepercayaan yang tidak akan pernah bisa dikerangkakan secara sistematik kecuali menggunakan intuisi. Para Perintis dilahirkan lewat satu proses kopulasi dengan akad sederhana dan tanpa basa-basi. Mereka hanya ingin bermakna secara apa adanya.

No comments:

Post a Comment