18 January 2015

Jokowi dan Ancaman Keselamatan yang Masih Mengintai

Pesan kampanye Pilpres 2014 oleh Jokowi, "Revolusi Mental", saya anggap sebagai obat kejenuhan dari pesan-pesan bombastik yang sama dan selalu hadir di sirkuit-sirkuit kejuaraan politik sejak Reformasi (Setengah Hati) bergulir hingga kini. Tetapi begitu Sang Kangmas Solo ini menggulirkan Nawacita-nya, saya pun terjaga dari harapan-harapan melambung. Pertumbuhan ekonomi, mesin penggilas keselamatan warga, penghancur daya-pulih produksi-konsumsi warga, dan pelumat daya-pulih fungsi-fungsi alam, masih dijadikan tumpuan oleh Jokowi.


Bayangan kehidupan yang lebih bermartabat terpaksa harus menyingkir dari benak ketika menelaah angka-angka target di RPJMN 2014-2019, yang katanya merupakan derivasi Nawacita. Begitu kuat mengakar hegemoni pertumbuhan ekonomi sehingga mampu membuat teks (dan konteks) "Revolusi Memtal" berubah menjadi sebuah novel picisan. Di mata panglima pertumbuhan ekonomi warga sungguh sekedar Terms of Reference (ToR), bukan Terms of Address (ToA) sama sekali.

Sebelumnya saya membayangkan Jokowi setara dengan Ahmadinejad dan Evo Moralez, yang sungguh berani melawan arus deras hegemoni pertumbuhan ekonomi, dan mengedepankan distribusi, baik pada domain ekonomi-politik domestik maupun regional dan global. Keduanya pun berani dan tangguh menghadapi tekanan politik negara-negara industrialis penikmat bahan mentah dari negara-negara kéré bekas jajahan. Karena bagi saya "Revolusi Mental" bukan cuma perkara membenahi rumah tangga yang luluh lantak diobrak-abrik kerakusan elit, tetapi juga menyangkut tata hubungan dengan tetangga, baik jauh maupun dekat. Memang saya tidak terkejut, tetapi daya-pikat Sang Kangmas Solo untuk tampil asimetrik dan unik dalam kancah politik domestik belum mampu mengoyak tabir-tabir kerjasama ekonomi-politik regional dan global. Bahkan dia cenderung mudah ditunggangi oleh elit kapital finansial, seperti yang terjadi di APEC, tahun lalu.

Saya tidak berani membayangkan bahwa di setiap arahan kebijakan yang populer dan disukai publik adalah sebuah tabir asap dari praktik pembangunan yang sama, yang selama ini telah mengerdilkan jutaan warga biasa dari mahluk bermartabat menjadi kuli-kuli kontrak di atas tanah nenek moyang mereka sendiri. Mengapa begitu? Karena Jokowi masih menggunakan mazab pertumbuhan ekonomi, yang mesin penggeraknya memiliki daya-rusak luar biasa terhadap keselamatan warga dan fungsi-fungsi alam.

No comments:

Post a Comment