28 May 2015

Pergulatan Hidup

Bagaimana seorang perintis menyiasati hidup? Karena dia juga manusia, maka seorang perintis tentu tidak bisa menghindari kebutuhan untuk hidup berkeluarga. Tetapi apakah sang suami atau istri bisa menerima atau bahkan mendukung sepenuh hati langkah-langkah aneh, nyeleneh dan gila yang diambil pasangan mereka? Apakah pernikahan menghambat kerja-kerja keperintisan? Ada banyak kisah tentang pengorbanan ikhlas dari keluarga para perintis.




Seorang Aleta Baun harus lari dan bergerilya ke hutan lari dari kejaran preman-preman yang dikerahkan perusahaan tambang marmer. Berbulan-bulan dia bersama beberapa warga perempuan dan laki-laki hidup di hutan, bersembunyi. Sebagian membawa serta anak mereka. Sebagian lagi meninggalkan keluarga mereka di rumah. Aleta dengan keyakinannya bertahan hidup di hutan. Itu hanya sepenggal dari rangkaian pengorbanan yang dia ambil dan juga dialami keluarganya. Sebuah kehidupan yang jauh dari aman dan nyaman.

Tetapi apakah kerja-kerja keperintisan akan lebih lancar apabila sang perintis memilih tidak mengikatkan diri pada perkawinan? Tidak bisa dijamin selurus itu logikanya. Ini tidak tentang satu tambah satu sama dengan dua. Ini soal percampuran dan persenyawaan rumit antara keteguhan pada cita-cita untuk perubahan yang lebih baik, rasa sayang dan cinta pada orang lain, serta toleransi menerima rasa sakit dan ketabahan mengenyam cobaan. Tentu saja tidak ada ukuran-ukuran baku bagi seorang perintis kecuali terbangun kepercayaan masyarakat pada cita-cita sang perintis. Sehingga pertanyaan (atau pernyataan sekaligus?) tentang pekerjaan keperintisan yang lebih lancar apabila sang perintis tidak terikat perkawinan menjadi tidak relevan dan tidak bisa direduksi menjadi logika linear.

Seorang Magafira rela rumahnya menjadi tempat penampungan sampah plastik yang dia kumpulkan dari seantero kampung di Banda Naira, Maluku Tengah. Apakah keluarganya bisa menerima tindakan edan itu? Kenyataannya, keluarga Magafira menjadi faktor pendorong yang meneguhkan keyakinan Magafira pada cita-citanya Banda Naira menjadi ruang hidup yang layak bagi masyarakatnya.

Makna keperintisan atau kepeloporan terletak pada keberhasilan meyakinkan orang lain untuk sama-sama meyakini cita-cita sang perintis. Sebelum mereka meyakinkan masyarakat, orang terdekat terutama keluarga, adalah yang pertama kali harus dihadapi oleh sang perintis. Dukungan orang terdekat atau keluarga menjadi faktor pendorong yang sangat penting. Tetapi justru di situlah letak pergulatan mereka. Sebuah pergulatan yang membuat kita, yang mengenyam kesempatan hidup yang relatif lebih aman dan nyaman, tersadar tentang pilihan-pilihan sulit yang senantiasa dihadapi dalam kehidupan. Pilihan-pilihan yang tidak mengenal nalar bahkan sangat brutal memaksa orang memilih antara memenangkan ego atau mengubur dalam-dalam di liang lahat.

No comments:

Post a Comment