12 January 2015

Mengapa Perintis?

Perintis adalah para pembuka jalan. Mereka pasang badan menerabas segala rintangan agar siapa pun di belakang mereka bisa melewati jalan yang baru dibuka itu. Siapa pun di belakang mereka patut dimaknai sebagai orang-orang yang percaya kepada sang perintis, bukan sekedar pengikut. Di balik makna gagah dan heroik, kenyataannya sosok para perintis justru jauh dari tampilan macho dan serba maskulin. Mereka adalah sosok welas asih tetapi kritis.


Mengapa perintis, bukan pemimpin? Saya justru tidak sedang meletakkan 'perintis' dan 'pemimpin' secara dikhotomik. Keduanya adalah dua entitas berbeda yang saling mengiris dan menciptakan tumpang-tindih yang harmonik dan indah. Debat-debat tentang kesamaan dan beda di antara kedua kata tersebut bisa kita gelar untuk mengumbar nafsu kognitif. Tetapi yang justru dibutuhkan adalah pengembaraan intelektualitas dan emosi untuk terus belajar memahami keindahan tumpang-tindih antara 'pemimpin' dan 'perintis.' Dan tulisan ini adalah langkah awal pengembaraan saya bersama kawan-kawan di Para Perintis serta para perintis yang selama empat hari telah berudar-rasa di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. 

Seorang perintis mungkin menepis kata 'pengorbanan' dari kosa-kata operasional mereka. Karena pengorbanan melekat begitu saja tanpa perlu dipisahkan dari pilihan yang diambil mereka yang terpanggil dan bersungguh-sungguh memilih dan mengambil peran sebagai perintis. Kisah seorang Maga dari Banda Neira yang menurut ukuran saya, yang hidup dalam standar tertentu di Jakarta, terlihat begitu naif saat menggalang kesadaran masyarakat di pulau untuk memerangi sampah plastik. Maga menjawab dengan ikhlas ketika saya begitu gemas menanyakan kenapa dia tidak mengambil keuntungan dari sampah plastik yang dia jual kepada orang Cina pemilik mesin press yang menjualnya ke Surabaya. Sebuah penuturan yang indah, tanpa beban dan jauh dari kemarahan. 

Pendapat Sarwono Kusumaatmadja tentang makna perintis justru menyadarkan saya tentang elemen keberanian yang dibutuhkan, yakni berani untuk membuat kesalahan. "Dan itu sah. Karena mereka lebih berani berada di depan untuk menghadapi dan merasakan segala risiko apabila apa yang mereka rintis tidak sesuai harapan khalayak, atau bahkan harapannya sendiri." Dan saya merasakan satu keindahan dari kontraksi antara 'perintis' dengan 'pemimpin' ketika saya refleksikan pada kesembilan kawan baru yang begitu saya hormati. 

No comments:

Post a Comment